Literasi sains diartikan sebagai kemampuan
menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik
kesimpulan berdasarkan bukti-bukti dalam rangka memahami serta membuat
keputusan berkenaan dengan alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam
melalui aktivitas manusia (Firman, 2007, hlm. 2). Definisi literasi sains ini
memandang literasi sains bersifat multidimensional, bukan hanya pemahaman
terhadap pengetahuan sains, tetapi kemampuan menerapkan sains dalam konteks
kehidupan nyata (Firman, 2007; Wulan, 2009, hlm 1). Sesuai dengan pandangan
Bybee dan BSCS (Shwartz et al, 2006,
hlm. 205) bahwa: Multidimensional
scientific literacy. This perspective of
scientific literacy incorporates an understanding of science that extends
beyond the concepts of scientific disciplines and procedures of scientific
investigation. It includes philosophical, historical, and social dimensions of
science and technology. Here students develop some understanding and
appreciation of science and technology regarding its relationship to their
daily lives.
Gbamanja (dalam Nkpolu-Oroworukwo, 2011, hlm. 444) mendefinisikan literasi
sains sebagai pengetahuan dan pemahaman tentang peristiwa yang terjadi di lingkungan. Literasi sains adalah pengetahuan dan pemahaman tentang
konsep-konsep ilmiah dan proses yang diperlukan seseorang untuk mengambil keputusan, berpartisipasi dalam budaya
lingkungannya dan produktif dalam bidang
ekonomi. Gormally, C. et al. (2012, hlm. 364) berpendapat bahwa pendidik, ilmuwan, dan
pembuat kebijakan setuju bahwa pengembangan literasi sains siswa merupakan tujuan utama
dari pendidikan sains. Literasi sains telah didefinisikan dalam berbagai cara,
yang semuanya menekankan kemampuan siswa untuk menggunakan pengetahuan ilmiah
dalam situasi dunia nyata. Menurut Hackling, M. W. (2002, hlm. 6) Kemampuan siswa dalam
literasi sains membantu mereka dalam mengenal dan memahami lingkungan sekitar mereka, terlibat dalam sains, dan dapat menginvestigasi pertanyaan dan
menggambarkan bukti berdasarkan kesimpulan.
Pemahaman siswa terhadap sains dan teknologi
sejak dini merupakan hal pokok dalam kesiapan mereka menghadapi kehidupan pada
masyarakat modern. Perannya di kehidupan modern dapat menjadi pemangku
kebijakan dalam era pemanfaat teknologi. Mereka dapat memegang kontrol penuh
untuk memanfaatkan sains teknologi dan mengetahui pengaruhnya terhadap
kehidupan mereka secara personal, sosial, profesional, dan global. (OECD, 2013,
hlm. 98).
Pendidikan di Amerika Serikat telah memperioritaskan
penelitian dan pengembangan STEM sebagai sebuah pendekatan baru yang dapat
diterapkan di sekolah untuk memperoleh lulusan kompetitif (Committee on Science, Engineering, and Public Policy dalam Milner,
2014, hlm. 642) . Pendidikan STEM
sebagai salah satu cara membuat pembelajaran lebih terhubung dan relevan
bagi siswa. Pendidikan STEM mengarahkan siswa untuk untuk lebih baik dalam
memecahkan masalah, bersifat inovatif, berfikir logis, dan melek tekonologi
(Stohlmann, 2012, hlm. 29).
National Research and
Council (dalam Harwell, 2015, hlm 66) mengungkapkan bahwa
selama ini pembelajaran dan penilaian sains, teknologi, teknik, dan matematika
dilakukan secara terpisah di sekolah. Hal ini berimplikasi pada kurangnya
persiapan siswa mengkolaborasikan beberapa disiplin ilmu tersebut dalam
menyelesaikan permasalahannya di dunia nyata.
Perkembangan teknologi dan informasi saat ini mengalami perkembangan
yang sangat cepat. Dimensi permasalahan yang dihadapi oleh manusia semakin
kompleks. Untuk menanggapi New World of Work abad 21 sangatlah
penting untuk mengintegrasikan pendidikan STEM di sekolah. Menurut Roehrig
(dalam Harwell, 2015, hlm. 66) Pembelajaran dan penilaian berbasis STEM menggabungkan disiplin ilmu
pengetahuan, teknologi, teknik, dan matematika. Integrasi ini
bertujuan untuk: (a) memperdalam pemahaman siswa terhadap konsep secara kontekstual ; (b) memperluas pemahaman siswa melalui paparan sosial
dan budaya pada konteks STEM yang relevan ; dan (c)
meningkatkan minat pada disiplin ilmu STEM dan meningkatkan motivasi
siswa untuk berkarir di bidang STEM. Seseorang yang memiliki
kepercayaan diri pada mata pelajaran matematika dan sains memiliki ketertarikan
untuk berkarir di Bidang STEM (Milner, 2014, hlm. 643).
Sumber:
Firman, H. (2007). Laporan Analisis Literasi Sains Berdasarkan Hasil PISA Nasional Tahun
2006. Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Depdiknas.
Wulan, A.R. (2009). Asesmen Literasi Sains. Makalah Team
Hibah Pasca Sarjana UPI. Bandung.
Swardz, Y., Zvi R.B., Hofstein, A. (2006). The use of scientific literacy taxonomy for
assessing the development of chemical literacy among high-school students. Chemistry Education Research
and Practice, 2006, 7 (4),
203-225.
Nkpolu-Oroworukwo, P. H. (2011). Improving
Scientific Literacy among Secondary School Students through Integration of
Information and Communication Technology. ARPN Journal of Science and
Technology. VOL. 2, NO. 5, June 2012.
Gormally, C., Brickman, P., & Lutz, M.
(2012). Developing a Test of Scientific Literacy Skills (TOSLS): measuring
undergraduates’ evaluation of scientific information and arguments. CBE-Life
Sciences Education, 11(4), 364-377.
Hackling, M. W. (2002). Assessment of Primary
Students Scientific Literacy. Investigating: Australian Primary and Junior Science Journal,
18(3), 6-7.
OECD. (2013). PISA 2012 Assessment
and Analytical Framework Mathematics, Reading, Science, Problem Solving and
Financial Literacy. OECD Publishing.
Harwell et
al. (2015). A Study of STEM Assessments in Engineering, Science, and
Mathematics for Elementary and Middle School Students. School Science and Mathematic. Vol 115 (2).
Milner, Diana I, et al. (2014). Development and Evaluation of STEM Interest and Self-Efficacy Tests. Journal of Career Assessment. Vol. 22(4) 642-653
Tidak ada komentar:
Posting Komentar